Sejarah ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia)
>> Selasa, 19 Juni 2012
ASRI,
Akademi Seni Rupa Indonesia
Dalam perjalanan sejarah panjangnya,
Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta adalah sebuah institusi
pendidikan tinggi bidang seni rupa di Indonesia yang hampir sama tuanya dengan
usia Republik Indonesia. Sebelum menjelma menjadi Fakultas Seni Rupa ISI
Yogyakarta sebagaimana yang dikenal sekarang, lembaga ini pada awalnya bernama
ASRI atau Akademi Seni Rupa Indonesia.
ASRI berdiri atas dasar surat
Keputusan Menteri PP dan K no. 32/Kebud., tanggal 15 Desember 1949.
Peresmiannya dilakukan pada tanggal 15 Januari 1950 oleh Menteri PP dan K saat
itu, yaitu S. Mangunsarkoro di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, dengan mengangkat
direktur pertamanya RJ. Katamsi. Bidang pendidikan seni yang diselenggarakan
ASRI pada saat itu yaitu Seni Lukis, Seni Patung, Seni Pertukangan, dan ”Redig”
singkatan dari Reklame, Dekorasi, Ilustrasi Grafik, disusul dengan Jurusan Guru
Menggambar. Di awal berdirinya ASRI serba dalam kondisi darurat, belum memiliki
satu kampus yang terpadu.
Pendidikan dilaksanakan di banyak
tempat. Gedung Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) Yogyakarta sebagai kantor
pusat, tempat kuliah, dan studio Bagian I/II. SMA/B Kota Baru dan rumah RJ.
Katamsi di Gondolayu untuk studio Bagian IV dan V. Bekas gedung Kunst
Ambachschool di Ngabean dan Bintaran untuk studio Bagian III. Baru pada tahun
1957, ASRI mendapat gedung pre-fabricated bantuan dari Amerika Serikat yang
bentuknya sama dengan banyak gedung SMA di Indonesia, yaitu yang dikenal dengan
kampus Gampingan yang legendaris itu. Dengan kondisi sarana dan prasarana yang
sangat terbatas, juga pengalaman penyelenggaraan akademi yang belum ada, dan
sumber daya manusia yang sangat kurang, kenyataannya ASRI bisa berjalan. Tetapi
lebih dari itu, sebenarnya dosen-dosen yang meng ajar mempunyai kualitas yang
tinggi. RJ. Katamsi sendiri yang lulusan Academie voor Beeldende Kunsten, Den
Haag, mengajar sejarah kesenian, ilmu reproduksi, perspektif, dan opmeten.
Djajengasmoro mengajar melukis dan stilleven. Kusnadi yang juga pelukis, meng
ajar komposisi. Mardio mengajar metodik dan menggambar di papan tulis. Ardan
mengajar pengetahuan bahan dan Warindyo pada menggambar ukir-ukiran. Dokter
Radiopoetro mengajar anatomi plastis, Widjokongko pada fotografi, tipografi,
dan ilmu ukur melukis, sedangkan Padmopoespito mengajar sejarah kebudayaan.
Dari siswa angkatan pertama yang berjumlah 160 orang, muncul potensi-potensi kuat
dalam masing-masing bidang seni rupa, sehingga setelah lima atau enam tahun
kemudian direkrut menjadi pengajar. Mereka adalah Widayat, Hendrodjasmoro,
Saptoto, HM. Bakir, Abas Alibasyah, Abdul Kadir, Edhi Sunarso, dan Soetopo.
Dalam dunia seni rupa Indonesia mereka juga akhirnya dikenal sebagai
seniman-seniman yang handal.
Keadaan darurat pada pendirian akademi
seni rupa ini memang berakibat pada belum siapnya diterapkan sistem pendidikan
yang ketat dengan menerapkan norma-norma akademik dan metode yang berbasis ilmu
pengetahuan (wetenschapelijk). Persoalan tersebut juga berakibat pada kurang
matangnya pembuatan kurikulum, pemberian nama mata kuliah, maupun peraturanper
aturan akademik yang belum tertata dengan baik.
Dengan kearifan dan kesadaran
kontekstual pada kondisi yang ada, maka sebagai gantinya ASRI menerapkan
peng ajaran dalam “sistem proyek global”, yaitu suatu sistem yang memberikan keberanian dan kebebasan penuh kepada para siswa. Dengan sistem itu, dalam proses studi baru enam bulan ASRI sudah berani tampil dalam pameran Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-5 di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Pada kesempatan itulah RJ. Katamsi mengungkapkan bahwa dorongan semangat ini merupakan buah dari “sistem proyek global”, yang dalam pengajaran praktik tidak mementingkan detail dari objek (alam atau benda) yang sedang dihadapi, melainkan hanya mengutamakan kesan
keseluruhan yang telah dibumbui dengan konsep pribadi. Dengan “sistem proyek global” ini ASRI harus banyak membawa siswanya untuk praktik on the spot ke alam, dan hal itu telah dilakukan dengan melukis keluar seperti ke Parang tritis, Kaliurang, Borobudur, dan lain-lainnya.
peng ajaran dalam “sistem proyek global”, yaitu suatu sistem yang memberikan keberanian dan kebebasan penuh kepada para siswa. Dengan sistem itu, dalam proses studi baru enam bulan ASRI sudah berani tampil dalam pameran Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-5 di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Pada kesempatan itulah RJ. Katamsi mengungkapkan bahwa dorongan semangat ini merupakan buah dari “sistem proyek global”, yang dalam pengajaran praktik tidak mementingkan detail dari objek (alam atau benda) yang sedang dihadapi, melainkan hanya mengutamakan kesan
keseluruhan yang telah dibumbui dengan konsep pribadi. Dengan “sistem proyek global” ini ASRI harus banyak membawa siswanya untuk praktik on the spot ke alam, dan hal itu telah dilakukan dengan melukis keluar seperti ke Parang tritis, Kaliurang, Borobudur, dan lain-lainnya.
Namun demikian, ada juga tradisi
lain yang terus berkembang dari sistem pendidikan ASRI, yaitu siswa tidak
diarahkan pada suatu gaya dan corak tertentu dalam berkarya. Di samping itu,
dalam mengajarkan realisme dan naturalisme siswa diberi dasar yang lengkap,
logis, dan nyata.
Dalam perkembangan selanjutnya,
tanpa disa dari terjadi suatu pergeseran visi pendidikan ASRI yang seharusnya
mendidik calon-calon seniman menjadi mendidik calon-calon guru. Hal tersebut
karena dipengaruhi kenyataan dalam masyarakat dan kehidupan, bahwa berprofesi
sebagai seniman ternyata masih sulit untuk mendapat jaminan hidup. Oleh
karenanya berkembanglah tuntutan agar pendidikan ASRI juga bisa mendapat
kesetaraan dengan ijazah SGA dan B-1, sehingga dapat untuk mengajar.
Penyimpangan visi pendidikan ini kemudian diperbaiki dengan SK Menteri
Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 27/1963, 5 April 1963. Dalam SK tersebut
ASRI kemudian diberi status akademi penuh, dan memisahkan Bagian Satu (yang
dimasuki lulusan SMP untuk bidang seni lukis, patung, dan kriya) menjadi
Sekolah Menengah Seni Rupa, serta Bagian Lima (bidang guru gambar) menjadi
Jurusan Seni
Rupa di IKIP.
Rupa di IKIP.
ASRI
menjadi STSRI “ASRI”
Perubahan status berikutnya terjadi
pada tanggal 4 November 1968, yaitu menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia
(STSRI), lewat SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0100/1968. Dengan nama
baru STSRI itu, sebutan ASRI tidak dihilangkan karena dimanfaatkan sebagai
brand name yang telah familiair dengan masyarakat. Lagi pula dalam bahasa Jawa,
asri mempu nyai makna indah dan menyenangkan, sehingga sebutan itu mempunyai
pencitraan yang baik untuk perguruan tinggi seni rupa. Dalam status tersebut,
STSRI “ASRI” sebagai pendidikan tinggi seni rupa yang telah membuka tingkat
doktoral atau sarjana penuh kemudian membenahi berbagai perangkat lunak
akademik dalam sistem pendidikannya. Pada tahun 1969, dipelopori oleh Soedarso
Sp, MA yang pada waktu itu menjabat sebagai Pjs. Ketua, mengganti sistem
kenaikan tingkat atau studi tahunan dengan sistem semester dan studi terpimpin
dalam Satuan Kredit Semester (SKS). Untuk perguruan tinggi di Yogyakarta, STSRI
“ASRI” ternyata menjadi pelopor dalam pemakaian sistem ini. Tentu saja sistem
ini dimaksudkan mendorong tradisi dan etos belajar mahasiswa untuk menjadi
lebih disiplin, karena untuk mencapai derajat sarjana diperlukan target capaian
yang berbobot ilmiah pula. Demikian juga, bagian-bagian bidang studi pada
sistem akademi sebelumnya dikembangkan semakin mantap menjadi enam Jurusan,
yaitu Seni Lukis, Seni Patung, Seni Ilustrasi/Grafis, Seni Kriya, Seni
Reklame/Propaganda, dan Seni Dekorasi.
Dari
STSRI “ASRI” ke Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Proses perjalanan lembaga pendidikan
tinggi seni rupa ini yang paling akhir adalah bergabungnya STSRI “ASRI” dengan
AMI dan ASTI membentuk Institut Seni Indonesia Yogyakarta, yang secara resmi
dibentuk melalui SK Presiden RI, No. 39/1984, tanggal 30 Mei 1984 dan peresmian
berdirinya oleh Mendikbud pada tanggal 23 Juli 1984. Dalam bagian ini, menjadi
Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, sebenarnya tetap merupakan perjalanan
panjang dari proses penyempurnaan sistem pendidikan tinggi seni rupa, yang
secara dialogis mempertahankan antara nilai tradisi dan modernitas.
Menyertai perkembangan Indonesia dan
zaman yang semakin modern, FSR ISI Yogyakarta mengembangkan
sistem pendidikannya sesuai dengan konsep-konsep pendidik an modern dalam kerangka visi ISI Yogyakarta dan norma-norma dari Departemen Pendidikan Nasional. Pada proses perubahan menjadi Fakultas Seni Rupa ini kampusnya masih menempati tempat lama di Gampingan, namun setelah tahun 1995 kampus FSR pindah ke jalan Parangtritis, Sewon, Bantul bergabung dengan kampus terpadu ISI Yogyakarta.
sistem pendidikannya sesuai dengan konsep-konsep pendidik an modern dalam kerangka visi ISI Yogyakarta dan norma-norma dari Departemen Pendidikan Nasional. Pada proses perubahan menjadi Fakultas Seni Rupa ini kampusnya masih menempati tempat lama di Gampingan, namun setelah tahun 1995 kampus FSR pindah ke jalan Parangtritis, Sewon, Bantul bergabung dengan kampus terpadu ISI Yogyakarta.
Dikutip dari isi.ac.id
0 komentar:
Posting Komentar